Ustadz M. Irfan Rumasoreng, M.Pd., Al Hafidz

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

(QS. Al-Qamar: 17)

Bagi orang beriman, semua ayat Al Quran itu menginspirasi. Juga peninggalan Nabi Muhammad saw baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan merupakan sesuatu yang tidak diragukan kebenarannya. Semua itu menjadi panduan hidup kita.

Di antara semua itu saya ingin mengutip perkataan Imam Syafii, dan perkataan ini juga sering dipakai oleh para sahabat. Sahabat itu kalau bertemu satu dengan yang lainnya, ada satu surat yang mereka bacakan atau mereka diskusikan yaitu Wal ‘Ashr, Surah Al Ashr.

Bagi orang beriman, waktu adalah tempat di mana dia mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadap Allah swt.

Imam Syafii mengatakan,

لو ما انزل الله حجة على خلقه إلا هذه السورة لكفتهم

“Sekiranya Allah tidak menurunkan hujjah bagi makhluk-Nya kecuali surat ini saja, maka sungguh hal itu sudah mencukupi.”

Setelah kita telaah, kita tadabburi, ayat ini mengandung konsep kehidupan yang sangat luar biasa.

Konsep waktu; manusia itu tidak boleh menggunakan waktunya secara semena-mena. Karena waktu akan berbalik menghukumi dia. Itulah mengapa pepatah Arab mengatakan waktu adalah pedang. Orang barat mengatakan time is money. Tapi bagi orang beriman, waktu adalah tempat di mana dia mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menghadap Allah swt.

Peringatan untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya, sehingga di dalam Al-Qur’an Allah bersumpah atas nama waktu yang merupakan ciptaan-Nya tidak lebih ada enam kali, (1) Wal Fajri (Al fajr : 1), (2) Was Shubhi (At Takwir : 18), (3) Wadh Dhuha (Dhuha :1), (4)Wan Nahaari (Asy syams: 3), (5) Wal Ashri (Al Ashr:1), (6) Wal Laili (Al Fajr:4).

Pengulangan ini tentu menunjukan keistimewaan waktu-waktu tersebut dan menjadi informasi kepada seluruh manusia.

Itulah mengapa Surah Al Ashr ini saya kutip sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Syafii dan para sahabat Nabi Muhammad saw ketika mereka saling bertemu dan sebagaian ulama ada yang menganjurkan dibacakan pada salah satu rukun khutbah Jumat.

Ayat ini memberikan inspirasi bagi kita semua bahwa waktu itu sangat penting dalam kehidupan kita. Sehingga kalau kita tidak menggunakannya dengan baik maka kita akan menjadi orang yang disebutkan dalam ayat berikutnya, Innal insana lafi khusr, yaitu orang-orang yang merugi.

Nah, siapakah orang yang merugi? Orang yang merugi adalah orang yang tidak ada empat hal dalam hidupnya.

Pertama, adalah orang yang kalau dia beriman kepada Allah, ia tidak hanya mengucapkan dengan lisannya melainkan beriman juga dari hatinya dan tercermin dalam perbuatannya.

Minimal dia menjalankan shalat 5 waktu, ada rizki yang berlebih dia sedekahkan, dia juga menjalankan puasa ramadhan, jika sudah mampu ia berhaji. Itu minimal, ya.

Yang kedua, orang beriman yang sudah shalat, sudah macam-macam tadi itu ternyata masih merugi karena dia harus berbuat baik. Dan berbuat baik tidak terikat pada tempat-tempat tertentu saja, di masjid, di mushola, ketika pengajiannya, dan sebagainya.

Sehingga agar tidak merugi, setelah beriman orang itu perlu berbuat baik kepada orang lain. Berbuat baik kepada seluruh manusia, bukan hanya kepada orang Islam saja. Kalau ada orang sudah bagus ibadahnya, rajin tahajud, tetapi tetangga di samping kanan-kirinya tidak diperdulikan pada saat membutuhkan, maka dipertanyakan lagi ibadahnya.

Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad saw.

Dari Abu Dzarr radhiallahu anhu, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetangga-tetanggamu” (HR. Muslim).

Dari anjuran Nabi saw ini bisa kita petik pelajaran untuk memperhatikan tetangga dengan membagi masakan kita. Kalau makanan saja kita bagi, jangan sampai ke tetangga sebelah malah kelaparan, kita diam saja. Begitu luhurnya ajaran Islam.

Anjuran berbuat baik tidak hanya berlaku pada manusia, melainkan juga kepada hewan, tumbuhan dan alam semesta. Dalam suatu Riwayat disebutkan Dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang wanita disiksa disebabkan mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan lalu wanita itupun masuk neraka.” (HR. Bukhari)

Ketiga, orang yang sudah beriman dan berbuat baik begitu masih rugi juga ternyata. Ibadahnya sudah oke, berbuat baik pada sesama juga oke, namun masih disebut rugi.

Mengapa ia mendapat kerugian? Karena kebaikan itu masih berhenti pada dirinya, dia tidak mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Itu masih dikategorikan rugi menurut Qur’an. Artinya dia harus menyampaikan kebaikan-kebaikan itu supaya orang lain bisa seperti dia.

Tentu dalam perjalanan menyampaikan kebaikan itu banyak masalah. Masalah-masalah itu jangan membuat kita jadi keropos lalu memutuskan berhenti. Kita perlu bersabar untuk terus menyampaikan kebaikan.

Keempat, ketika orang itu sudah memiliki iman yang bagus, menjalankan ibadah, berbuat baik kepada orang lain dan sebagainya, kemudian setelah kebaikan itu dia merasakan manfaatnya, lalu dia sampaikan kepada orang lain supaya bisa melakukan kebaikan serupa, tetapi dia mengetahui banyak orang yang tidak menerima kebaikan-kebaikan yang ia sampaikan, dan ia terus menyampaikan kebaikan-kebaikan itu kepada orang lain. Nah, di sinilah inspirasi kesempurnaannya.

Inilah poin yang bisa kita dapatkan dari surat Al Ashr. Itulah sebabnya saya memilih surat ini, bukan karena ayat lain tidak menginspirasi tetapi saya kutip dari pendapat Imam Syafi’i dan apa yang dilakukan para sahabat dahulu ketika mereka saling bertemu.

Sebagai guru yang mengajarkan Al Qur’an dan Tafsir di SMPIT Salman Al Farisi Jogja, Ustadz Irfan memiliki perjalanan hidup yang cukup unik. Yuk, simak wawancara dengan beliau.

——-

+ Bagaimana cerita Ustadz Irfan belajar Al Qur’an hingga sekarang bisa menjadi Ustadz yang mengajarkan Al Qur’an dan Tafsir?

Pertama, apa yang saya capai hingga saat ini, semua itu karena dimudahkan oleh Allah swt. Apa yang saya miliki saat ini adalah bukan karena apa yang saya usahakan, bukan karena kehebatan. Karena kalau lihat diri sendiri itu nggak mungkin, karena dari SD hingga SMP itu di sekolah umum semua.

Bahkan waktu sekolah di SMP ada image atau anggapan bahwa sekolah agama itu kurang bisa bersaing dibandingkan sekolah-sekolah negeri pada umumnya. Dulu sering ikut olimpiade Matematika pada saat SD dan SMP pada tahun 1990an, kalau lawan kita dari sekolah agama itu, ya, rasanya bukan tandingan.

Anggapan saya sekolah agama itu untuk pemahaman-pemahaman akademis terkesan terbelakang sehingga dari perjalanan itu juga saya memilih sekolah umum.

Pas masuk SMA kelas 2, saya melihat ada anak-anak TPQ yang bacaan Al Qur’annya bagus. Anak-anak usia SD itu yang kalau sore membaca Al Qur’an dengan speaker masjid. Saya tidak bisa membaca sebaik mereka. Jadi sehabis shalat Ashr saya biasanya langsung pulang. Karena kalau disuruh tadarus saya tidak bisa.

Dalam hati saya terbersit, “Ya Allah kalau disuruh belajar ilmu-ilmu akademis saya OK. Tapi saya ngga bisa membaca Al Qur’an.” Padahal Bapak saya sering ikut MTQ dan membaca Alqur’an secara mujawwad. Kakek saya adalah seorang guru ngaji. Dari situ saya merasa terpanggil.

Saya merasa terpukul lagi ketika masuk kuliah. Abang saya yang juga kuliah itu sudah 17 Juz hafalannya. Saya lihat masyaallah bacaannya menyenangkan. Saya bertanya pada diri sendiri, “Irfan kamu ini mau kemana?”

Saat itulah saya baru memulai belajar. Dengan keterbatasan yang saya punya, belum bisa membaca Al Qur’an sehingga saat setoran sering disuruh mengulang. Saya setoran Al Fatihah sampai berbulan-bulan lamanya. Tetapi saya terus saja berusaha sambil berdo’a, “Ya Allah, saya ini gimana ya Allah. Mudahkan saya, ampunkan jika saya banyak dosa. Mudah-mudahan saya bisa membaca Al Qur’an dengan baik.”

Alhamdulillah, saya bertemu seorang guru. Beliau ini dari Bojonegoro, Jawa Timur. Beliau ditugaskan mengajar di IAIN Ambon. Saya belajar bertalaqi sama beliau secara intensif. Saya mulai dari minus, bukan dari nol lagi karena saya nggak bisa baca Al Qur’an sama sekali.

Saat itu start menghafal Al Qur’an di semester 2 karena semester 1 fokus hanya untuk perbaikan bacaan. Alhamdulillah, saya dapat menyelesaikan hapalan 30 Juz.

Tentu sebagai mahasiswa Matematika saat itu, saya juga menghadapi banyak tugas selain juga mendapatkan amanah sebagai Wakil Presiden Mahasiswa, di BEM waktu itu. Alhamdulillah banyak kemudahan, seperti hadirnya teman-teman yang saling membantu dan lain sebagainya.

Saya kemudian mendaftarkan beasiswa S-2 jurusan Matematika di Jogja. Hingga saat ini saya mengajar Matematika di salah satu kampus dan mendirikan Lembaga Tahfidz selain kesibukan mengajar di SMPIT Salman Al Farisi Jogja.

Kemudian proses menghafal itu sendiri saya kira betul kalau Al Qur’an itu sendiri sudah mudah. Sebagaimana Allah swt berfirman, Aku sudah mudahkan engkau untuk menghafal quran. Mengapa engkau tidak melakukannya?

Al Qur’an itu mudah. Adapun ketika menghafal itu kadang kala pening kepala, atau menghafal tetapi tidak hafal-hafal,

ya … kita teruskan saja. Lewati saja. Insya Allah, Allah akan mudahkan itu.

Saya mulai belajar Tafsir setelah selesai menghafal. Ilmu Tafsir saya pelajari dengan guru yang lain. Dalam mendalami tafsir kebetulan saya mendalami Qiraat 10. Alhamdulillah, khatam cara membaca Qiraat 10 dan juga mempelajari kitab-kitab qiraat seperti As syatibiyah dan Thoyyibatun Nasyr. Ada beberapa tafsir yang mengakomodasi dari bacaan qiroah sehingga saya dimudahkan, karena saya sudah belajar sebelumnya.

Saya belajar tafsir karena ingin mengetahui dalamnya makna Al Qur’an. Karena memang terjemahan Al Qur’an itu tidak mewakili artinya, tidak mewakili makna yang Allah kehendaki. Kenapa orang bisa keliru memahami Qur’an? Karena mereka membaca terjemahan langsung lalu dimaknai sendiri. Padahal arti dan maksud ayat itu perlu kita tanyakan ke ulama. Terutama ulama yang bersambung ilmunya kepada Baginda Nabi Muhammad saw.

+ Siapa saja guru-guru yang menginspirasi perjalanan Ustadz Irfan hingga saat ini?

Ada 3 orang guru yang sangat berkesan dari sekian guru yang saya bertalaqi kepada beliau-beliau. Tiga orang ini berkesan karena perjuangan dakwah dan cerminan akhlaknya.

Pertama Syekh Abdul Karim dari Jeddah. Kedua Syekh Ibrahim juga dari Jeddah. Dan ketiga, Habib Abdullah bin Abdurrahman Al Muhdha dari Yaman.

Mereka menurut saya inspiratif sekali melihat perjuangannya rela meninggalkan tempat kelahiran yang jauh untuk mengajarkan agama. Mereka sampai tinggal di kampung-kampung, padahal di Jeddah mereka orang berada.

Subhanallah, mereka rela pergi sejauh itu hanya untuk mengenalkan bacaan Al Qur’an yang benar, yang punya silsilah dan sanad sampai ke Nabi Muhammad saw. Kadang kita dapati orang mengaji hanya turun-temurun, ya. Tetapi ketika disimak bacaannya ternyata jauh dari apa yang Nabi praktikkan. Sehingga hadirnya para guru ini jauh-jauh untuk meluruskan cara membaca al Qur’an.

Habib Abdullah bin Abdurraahman al Muhdhar datang ke Indonesia untuk mengajarkan masalah akidah, masalah fiqih kepada kita semua. Bahkan beliau sampai membawa keluarga ke sini. Dari Tarim, Yaman datang hanya untuk menyampaikan apa-apa yang diwariskan Nabi Muhammad saw sehingga kita bisa beribadah dengan pedoman, tidak sembarangan. Dari merekalah saya belajar Al Quran, Riwayat Hafs an ‘Ashim, ilmu Akidah, dan ilmu Fiqih.

Guru berikutnya yang sangat menginspirasi saya, dan saya sampai sekarang kalau mengenang beliau, mashaallah terkenang perjuangan beliau untuk mendidik saya. Beliau aslinya Bojonegoro, beliau punya nama lengkap Dr. Abu Abdullah Muhammad Abu Alim Dzuun Nuroyin.

Beliau pakar Qiroat 10, punya sanad yang bersambung pada Nabi. Dari beliau itulah saya belajar tentang hidup ini. Beliau itu Doktor, tapi pakaiannya mashaaallah tawadhu’ sekali. Pakaiannya sederhana. Kalau kita lihat itu kayak bukan Doktor. Tawadhu banget. Kalau kita masuk masjid kita nggak tahu itu orang alim. Saking beliau menutup alimnya dari orang lain. Tetapi kalau ada orang bertanya suatu perkara beliau akan jawab.

Di situ saya belajar ternyata orang itu semakin berilmu semakin menunduk. Kenapa dia tahu sedikitnya ilmu yang dia punya dan luasnya ilmu Allah swt. Beliau itu bahkan tidak sekolah formal. Istilahnya ngangon sapinya Kyai, dititipkan di pondok pesantren terus jadi Khadam dengan tugas memelihara sapi Kyai. Beliau tidak sekolah formal dari SD sampai SMA.

Setelah lulus sekolah diniyah, oleh teman beliau di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disarankan ke beliau untuk kuliah saja. Akhirnya setelah kejar paket A, B, C dan mendapat 3 ijazah itu beliau langsung S-1. Bahkan saat S-2 beliau ini nggak pakai kuliah. Langsung ujian Tesis karena kecakapan keilmuan yang beliau punya. Kemudian beliau diangkat PNS dan ditugaskan di Maluku. Gelar Doktor pun beliau raih melalui beasiswa.

Ini salah satu barokahnya Al Qur’an, ya. Dari situ saya belajar bahwa memang orang itu kalau dekat sama Allah, maka Allah yang akan mengatur hidupnya sebaik-baiknya. Allah tempatkan ia di tempat yang terbaik, di pekerjaan yang terbaik dengan tetap bisa mengerjakan amalannya. Itu yang saya pelajari dari beliau.

+ Bagaimana ceritanya bisa bergabung dengan Salman al Farisi, Ustadz?

Pertama kali dengar cerita Salman Al Farisi itu dari Ustadz Ali. Saya dan Salman itu sudah saling ketemu tapi via batin. Sebelum saya masuk salman, santri-santri (murid-murid) Salman itu beberapa orang bertalaqi di tempat kami; anak SD-SMP. Sehingga dari situ saya sampaikan ke Ustadz Ali mengenai program-program Tahfidz Quran.

Kemudian Ustadz Ali mengajak saya bergabung dengan Salman. Setelah saya masuk ke sini Alhamdulillah, Mashaallah, ini sudah ada tempat yang luar biasa untuk Tahfidz. Ketika saya melihat keadaan ini, saya menyadari bersyukur. Alhamdulillah, ini bagian dari takdir Allah saya hadir di sini, duduk sama-sama kita saling belajar dan memperbaiki bacaan Qur’an. Kebetulan di sini sudah ada Ma’had Tahfidhul Qur’an. Santrinya ada yang sudah hafal Qur’an 30 juz.

Saya semangat sekali karena, alhamdulillah, saya masih didekatkan dengan hal-hal yang berbau agama. Itu yang saya senang. Bidang kuliah saya kan nggak ke sini. Saya senang sekali. Ada Ustadz Ali yang mana beliau pikirannya juga pengembangan potensi Qur’an. Dari situ saya bersemangat untuk bersama-sama dengan Salman.

Mudah-mudahan ini menjadi barokah bagi kita untuk sama-sama menguatkan. Karena gangguan dakwah ke depan semakin bervariasi. Sedangkan kita butuh ketahanan yang kuat. Agar dakwah itu tetap bisa terus ada. Karena bagi saya, dakwah itu merupakan sesuatu yang harus kita lakukan. Karena dia merupakan bukti kita orang baik. Kalau orang nggak menyampaikan agama, itu bukti bahwa dia masih berhenti pada amal baik saja. Seperti dalam tafsir Al Ashr tadi.

+ Ada pesan-pesan yang ingin Ustadz sampaikan untuk generasi muda?

Pesan saya kepada semua anak muda, yang sedang menghafal Qur’an, bahwa kehidupan ini akan berakhir. Dan akhir kehidupan itu kita pilih dari usia muda. Sehingga kalau di usia muda ini kita tidak berusaha untuk menuntut ilmu, maka bersiaplah menimba susahnya sulit ketika sudah tua.

Dituliskan berdasarkan wawancara Ustadz M. Irfan Rumasoreng, M.Pd. Al Hafidz

Pengasuh Ma’had Tahfidhul Qur’an SMPIT Salman Al Farisi Jogja