Hari kartini yang jatuh pada 21 April 2016 tidak hanya di rayakan oleh kalangan sekolah SDIT Salman Al Farisi namun diikuti juga oleh para pengurus dan pengelola Yayasan Salman Al Farisi. Hari kartini yang merupakan penghormatan atas wujud perjuangan kaum perempuan, simbol persamaan gender, emansipasi wanita. Kartini ada sebagai pahlawan, bukan dengan tindakan kekerasan, tapi tetap radikal, demi memperjuangkan kebenaran yang dipercayainya. ada sebuah artikel menarik yang saya baca berjudul
“Mengapa harus Kartini? (Kritik atas Perayaan Hari kartini)”
artikel tersebut membahas tentang mengapa harus kartini mengapa bukan Dewi Sartika, Rohana Kudus atau pun Cut Nyak Dien.
Beberapa sejarawan sudah mengajukan bukti bahwa klaim semacam itu tidak tepat. Ada banyak wanita yang hidup sezamannya juga berpikiran sangat maju. Sebut saja Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (terakhir pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan dalam surat, Sartika dan Rohana sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang ber inisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat menerbitkan pikiran-pikiran Rohana dalam berbagai surat kabar itu, apa yang dipikirkan Rohana jauh lebih hebat dari yang dipikirkan Kartini. Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim ke terbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita.
“tulisan ini sebagian besar di nukil dari tulisan anwar bakhtiar di halaman insistent.com“
Terlepas apakah itu kartini, Dewi Sartika, Rohana kudus, atau pun Cuk Nyak Dien yang menjadi pelopor kebangkitan perempuan PRIBUMI Indonesia, yang pasti kita sebagai generasi Muda harus mampu menjadi wanita – wanita yang tangguh dengan pemikiran – pemikiran yang kreative untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik.
“Buku tidak terlihat baik isinya hanya sekedar bagus sampulnya. Namun buku akan terlihat bermakna kala isinya dapat menginspirasi banyak Manusia”
— Titanaya —