Bisa kita bayangkan sedihnya Rasulullah saw dan para sahabat terusir dari kampung halaman yang sangat dicintai. Rasa sedih bercampur pilu karena harus meninggalkan keluarga, kekayaan, kebun-kebun kurma, kerabat dan jaringan bisnis yang telah dibangun di seluruh penjuru kota. Lalu mereka menjalani perjalanan jauh, terlunta-lunta, dikejar-kejar orang Quraish dan tibalah di negeri asing yangmana tidak ada kerabat maupun saudara.

Tapi di situlah tonggak kebangkitan itu. Bersama lingkungan baru, orang-orang baru, adat-istiadat baru tumbuh pula peradaban baru. Rasulullah saw dan para sahabat mendapat penerimaan yang tulus, mendapat pengganti saudara dan keluarga baru, mendapat rumah dan kekayaan baru. Hingga dari sanalah muncul kekuatan baru yang mampu mengguncang dunia Arab pada masa itu.

Kita, di Bulan Muharram ini mengenang peristiwa itu. Peristiwa Hijrah yang penuh lika-liku, hidup bertahun-tahun menahan rindu dan akhirnya bisa kembali pulang membawa kemenangan yang gemilang.

Dalam kehidupan kita di Nusantara, nyaris tidak ada peristiwa yang plek sama dengan hijrah yang dialami Rasulullah saw dan para sahabat. Kita tidak sedang diusir dari kampung halaman karena mempertahankan keyakinan, juga tidak dikejar-kejar orang kampung karena khawatir dakwah menyebar. Mungkin ada yang dikejar-kejar, tapi paling-paling karena ditagih hutang. >.< Hijrah dari maksiat menuju taat itu jelas tidak perlu nunggu moment Muharram. Ya kan? Terus apa dong, hikmah yang bisa kita aplikasikan di kehidupan dalam kehidupan saat ini? Apalagi di masa pendemi? Owh, mungkin justru di masa pandemi ini kita jadi benar-benar harus bisa hijrah. Iya, memulai lingkungan baru yang ‘hanya’ di sekeliling rumah selama masa lockdown. Memulai aktivitas baru yang membatasi ruang dan jumlah orang. Banyak sisi kehidupan yang seolah terputus; belajar, arisan, pengajian, jualan, seminar, pelatihan, hingga silaturahim dan kunjung-mengunjungi antar saudara. Benar-benar rasanya kita disadarkan dengan hijrah pandemi ini. Emak-emak yang suka diajak jajan di luar mulai hijrah dengan menjadi chef di rumah. Bapak-bapak yang suka nongkrong di pos ronda hijrah menemani istri dan anak di rumah. Anak-anak yang biasanya bebas mainan dan kejar-kejaran juga hijrah mainan seputar rumah lagi rumah lagi. Segala aktivitas kita pun mau tidak mau diminimalisir dan kita pindahkan di rumah. Kita yang kehilangan pekerjaan karena pandemi juga dipaksa hijrah pada pekerjaan-pekerjaan baru yang sebelumnya mungkin tidak terbayangkan. Guru-guru mengajar yang nyaman mengajar di depan kelas mendadak harus beralih ke depan kamera. Seminar-seminar yang ramai dikunjungi orang pun bermigrasi ke Zoom, Google Meet, atau streaming di Youtube atau Fb/ IG live. Barangkali hal penting yang harus kita pelajari dari hijrah di bulan ini adalah perihal kedinamisan hidup. Ya, life is always changing. And we should prepare to survive for any condition in life. Selamat berhijrah. Semoga spirit berubah dan berbenah menuju taqwa senantiasa menjadi bisa kita semarakkan dalam setiap helai napas kita. Selamat hijrah, mari kita bangkit menuju kemenangan.