Kemuliaan Manusia Dengan Anugerah Akal Dan Pikiran

akal dan pikiran manusia

kemuliaan manusia dengan anugerah akal dan pikiran

Kemuliaan seorang manusia diukur dari bagaimana ketakwaannya kepada Allah SWT, melalui penggunaan akal dan pikiranya secara maksimal. Melalui akal, manusia akan dapat mengetahui tanda-tanda keagungan dan keesaan Allah, serta mukjizat para rasul-Nya.

Manusia  yang menggunakan akal pikirannya dengan baik, maka dia akan dapat mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbagai hal yang terkait dengan nama serta sifat-sifat-Nya yang agung. Melalui akal, seorang hamba dapat beriman pada sejumlah kitab, rasul, dan malaikat-Nya, serta hari akhir.

Selain itu, melalui akal, seorang hamba akan dapat mengetahui tanda-tanda keagungan dan keesaan Allah, serta mukjizat para rasul-Nya. Dan berkat akal pula, manusia dapat menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Akal pikiran senantiasa menganjurkan untuk meraih segala kemuliaan, menghindari segala kehinaan, menyingkap segala tabir makna kebaikan yang tersembunyi, dan mengukuhkan ketekadan sehingga ia berdiri tegak di bawah kendalinya. Akal pula yang menopang ketetapan hati hingga ia berhasil meraih taufik dari Allah, memperoleh kebaikan, dan menyingkirkan kejelekan.

Akal pikiran inilah yang selalu menilai segala risiko buruk sehingga ia terus mewaspadainya; yang berupaya menjalankan segala hal yang sesuai dengan kemaslahatan, yang menentang keinginan hawa nafsu sehingga mampu mengalahkan bala tentaranya dengan penuh kehinaan. Selain itu, akal pula yang membantu kesabaran hingga berhasil mengalahkan hawa nafsu, setelah sebelumnya ia nyaris terpukul dengan anak panah hawa nafsu.

Apabila akal dan bala tentaranya turun dengan kekuatan penuh, maka ia akan menawan bala tentara hawa nafsu dan memasukkannya dalam jeruji penjara. Manusia yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Dia akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik lagi. Bila akal dimanfaatkan secara baik, maka ia akan membawa pemiliknya beranjak menuju derajat para raja yang mampu mengendalikan hambanya, dalam hal ini hawa nafsunya.

Hawa nafsu laksana pohon. Akarnya adalah pikiran segala risiko buruk yang bisa terjadi. Batangnya adalah kesabaran. Rantingnya adalah ilmu pengetahuan. Daunnya adalah budi pekerti yang luhur. Buahnya adalah hikmah. Seharusnya, bermula dan berakhirnya hawa nafsu adalah oleh akal pikiran. Jika memang seperti ini, maka sangat tidak pantas kalau musuh akal berhasil menaklukkan dan menguasainya, sehingga musuhnya itu menyingkirkannya dari daerah kekuasaannya; menurunkan derajatnya yang mulia dan melengserkan kedudukannya.

Seandainya itu terjadi, maka akal akan menjadi tawanan setelah sebelumnya sebagai pemimpin. Menjadi terdakwa setelah sebelumnya sebagai hakim, dan menjadi pengikut setelah sebelumnya sebagai yang diikuti.

Manusia yang bersabar berdasarkan kebijakan akal, niscaya dia akan meraih kenikmatan dan kesenangan. Sebaliknya, manusia yang berpaling dari kebijakannya, niscaya dia akan terjerumus menuju jurang kebinasaan dan kehinaan.

`Ali bin Abu Thalib mengungkapkan, “Banyak sekali kaum yang masuk ke dalam surga, padahal mereka bukan termasuk golongan yang sering salat, puasa, haji, ataupun umrah. Namun, mereka itu senantiasa menggunakan akal pikiran mereka guna memikirkan pesan dan nasihat Allah sehingga hati mereka bergetar, jiwa mereka merasa tenang, dan anggota badan mereka tunduk mematuhi. Dengan cara ini, mereka menjadi kelompok yang mulia. Bahkan, mereka memperoleh derajat tertinggi di tengah-tengah manusia saat di dunia dan di sisi Allah saat di akhirat kelak.”

‘Umar bin Khaththab mengatakan, “Orang yang berakal bukanlah orang yang hanya mengetahui yang baik dan yang buruk, tetapi orang yang mengetahui yang terbaik di antara dua hal yang buruk.”

‘Aisvah mengatakan, “Sungguh beruntung orang yang dianugerahi akal pikiran oleh Allah.”

Abdullah bin `Abbas mengatakan, “Ketika Raja Kisra (Raja Persia) dikaruniai anak, dia menghadirkan seorang ulama dan meletakkan sang bayi di hadapan mereka. Kemudian, Sang Raja bertanya, ‘Apakah perangkat paling berharga yang dimiliki bayi ini?’ Ulama itu menjawab, ‘Akal yang dianugerahkan sejak dia lahir.’

‘Kalau itu tidak ada?’ tanya Sang Raja melanjutkan.

‘Budi pekerti luhur saat dia hidup di dunia.’

‘Kalau itu tidak ada?’

`Malapetakalah yang akan menghantamnya,’ jawab ulama itu dengan tegas.”

Sejumlah ulama pernah mengungkapkan, “Ketika Allah menurunkan Nabi Adam ke bumi, Malaikat Jibril pun menghampirinya dengan membawa tiga perkara: agama, budi pekerti, dan akal pikiran. Malaikat Jibril kemudian berkata, `Allah swt menyuruhmu untuk memilih di antara ketiga perkara ini.’

Nabi Adam lantas berkata, ‘Jibril, saya tidak melihat sesuatu yang lebih baik daripada semua itu selain yang ada di surga.’ Lalu dia menjulurkan tangannya pada akal dan merengkuhnya ke dalam dirinya.

Malaikat Jibril kemudian berkata kepada agama dan budi pekerti, ‘Naiklah kamu berdua ke langit.’ Keduanya pun berkata, ‘Kami diperintahkan untuk senantiasa bersama akal kapan pun dan di mana pun ia berada.’ Akhirnya, ketiga perkara ini dianugerahkan kepada Adam.”

Ketiga perkara ini merupakan anugerah terbesar dan teragung yang telah Allah berikan kepada sejumlah hamba-Nya. Di samping itu, Allah juga menciptakan tiga perkara lain yang akan menjadi musuh bebuyutannya: hawa nafsu, setan, dan jiwa buruk. Peperangan dan perseteruan di antara kedua kubu ini senantiasa bergolak. Allah berfirman,

Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu merasa tenteram karenanya. Kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Ali `Imran: 126).*/Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dari bukunya Bercinta dengan Allah.

Yayasan Salman Al Farisi Yogyakarta

lembaga pendidikan Islam terdepan dan terpercaya dalam membangun anak yang berkarakter islami dan berprestasi di Yogyakarta