Oleh : Ir. H. Cholid Mahmud, MT
(Dewan Pembina Yayasan Salman Al Farisi Yogyakarta)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٠٢﴾ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam kedaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai … (Q.S. Ali Imran 102-103)
CONTOH MASALAH KHILAFIYAH
Hari ini sebagian ummat Islam di Indonesia sudah melaksanakan Sholat Idul Adha, sebagian yang lain sedang melaksanakan puasa sunnah arafah, dan mereka akan sholat idul Adha besok pagi.
Beberapa tahun yang lalu terjadi juga perbedaan dalam penentuan awal ramadhan. Demikian juga pernah terjadi perbedaan dalam penentuan tanggal 1 syawwal.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi karena perbedaan didalam penentuan awal bulan hijriyah. Dan hal tersebut bisa terjadi pada seluruh bulan, bukan hanya Ramadhan, Syawwal, atau Dzul hijjah, dan bisa berulang setiap tahun.
Ada 2 sebab pokok perbedaan para ulama dalam penentuan awal bulan hijriyah ini, :
- Metode
- Mathla’
Ada 2 methode penentuan awal bulan hijriyah, yaitu dengan menghitung (hisab) dan dengan melihat secara fisik (rukyah).
Metode hisab adalah menentukan tanggal bulan baru berdasarkan hasil hitungan matematis, yaitu apabila pada waktu maghrib tgl 29 bulan berjalan hilal dihitung sudah di atas 0 derajat maka berarti telah masuk bulan baru.
Metode rukyah adalah menentukan tanggal bulan baru setelah bulan sabit terlihat secara fisik. Apabila pada waktu maghrib tanggal 29 bulan sabit belum muncul di ufuk barat maka bulan yang berjalan digenapkan menjadi 30 hari. Tanggal baru bulan berikutnya adalah 2 hari setelah tgl 29 tersebut.
Perbedaan hasil rukyah dan hisab biasanya terjadi apabila tinggi hilal pada saat matahari tenggelam masih dibawah 2 derajat. Kalau di atas 2 derajat umumnya sudah bisa dirukyah, sehingga tidak terjadi perbedaan.
Sebab kedua dalam perbedaan penentuan tanggal adalah persoalan “mathla’”. Mathla’ adalah koordinat lokasi dasar perhitungan untuk metode hisab dan tempat melihat hilal untuk metode rukyah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa setiap lokasi/daerah/ wilayah menentukan sendiri tanggalnya (dikenal dengan istilah “mathla’ mahally”), sebagian ulama berpendapat bahwa satu tanggal berlaku untuk seluruh dunia Islam (dikenal dengan istilah “mathla’ alamy”).
Kejadian hari ini adalah contoh faktual perbedaan yang disebabkan oleh kedua sebab tersebut.
Ada banyak contoh lain tentang perbedaan ijtihad para ulama dalam berbagai bidang. Misalnya tentang takbir apakah 2 kali atau 3 kali, tentang shalat tarawih apakah 11 atau 23, apakah 2-2 atau 4-4-3. Sholat shubuh dengan qunut atau tidak, dan sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang dikenal dengan istilah IKHTILAF.
PENGERTIAN IKHTILAF
Para Ulama kita mendefinisikan Ikhtilaf adalah perbedaan pendapat para ulama / fuqaha dalam masalah2 yang bersifat ijtihad.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh ulama bersepakat bahwa rujukan pokok dalam memahami agama kita adalah al qur’an dan sunnah, tetapi para ulama juga menjelaskan bahwa di dalam alqur’an dan sunnah itu ada ayat atau hadits yang tidak multi interpretasi (qath’ie) dan ada pula ayat atau hadits yang bisa dimaknai lebih dari satu pengertian (dhannie). Untuk jenis yang kedua inilah para ulama harus berijtihad, dan kadang-kadang hasil ijtihad antar ulama berbeda. Inilah yang disebut ikhtilaf itu.
SEBAB MUNCULNYA IKHTILAF
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf, antara lain:
- Karakteristik dalil-dalil syar’ie di mana terdapat ayat atau hadits yang bermakna pasti (qathie) dan ada yang multi interpretatif (dhannie).
Contoh kasus :
Dan jika kamu dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan atau kamu habis buang air atau kamu menyentuh perempuan dan tidak didapati air, maka bertayamumlah dengan debu yang bersih
- Perbedaan para ulama hadits dalam menilai kekuatan hadits.
Contoh :
Dari Anas, bahwa sesungguhnya Nabi saw berqunut satu bulan, berdoa untuk mereka, kemudian meninggalkannya
- Keragaman manusia dalam menangkap makna sebuah dalil.
Contoh :
Jangan sesekali-sekali sholat ashar salah satu dari kalian kecuali di Bani Quraizhoh
FAKTA TENTANG IKHTILAF
Bagi kita ummat Islam, ikhtilaf bukanlah barang baru, tetapi sesuatu yang sudah terjadi sejak zaman Nabi, zaman para sahabat, para tabi’in, dan terus akan tejadi sampai akhir zaman. Karena sebab-sebab ikhtilaf seperti yang telah disebutkan di atas, maka ikhtilaf tidak akan pernah bisa dihilangkan. Oleh karena itu jangan pernah berfikir untuk menghilangkan masalah ikhtilaf.
Ikhtilaf juga tidak selalu bermakna satu pihak salah dan satu pihak benar. Contoh untuk kasus ini adalah perbedaan pendapat dua orang sahabat tentang mengulang sholat karena menemukan air setelah sebelumnya sholat dengan bertayammum. Seorang sahabat mengulang, seorang yang lain tidak mengulang. Ketika keduanya menghadap Rasulullah SAW, beliau berkomentar : yang mengulang sholat pahalanya dua, yang tidak mengulang sudah sesuai dengan sunnah.
Ikhtilaf juga tidak berarti perpecahan, sebagaimana contoh para sahabat pada kasus-kasus di atas.
ADAB DALAM MASALAH IKHTILAF
Menghadapi masalah ikhtilaf seperti ini, ada beberapa langkah yang semestinya kita lakukan.
- Jika kita telah mampu berijtihad, maka lakukanlah ijtihad. Jika belum mampu berijtihad, maka kita mesti pelajari ijtihad-ijtihad para mujtahid itu dengan memahami dalil-dalil dan argumen yang disampaikan.
- Setelah kita pelajari dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan, kita coba untuk memilih salah satu di antara beberapa ijtihad yang berbeda itu. Dasar utama dalam pemilihan adalah kekuatan hujjah atau dalil. Pertimbangan lainnya adalah kemaslahatan umum. Kadang-kadang seseorang lebih baik meninggalkan ijtihad dengan dalil yang dianggap lebih kuat demi menjaga kemaslahatan umum. Contoh kasus ini adalah ketika Imam Syafi’ie meninggalkan doa qunut shubuh ketika beliau diminta menjadi imam di Baghdad yang masyarakat dan ulamanya tidak membaca doa qunut pada sholat shubuh mereka.
- Ketika kita memilih sebuah pilihan ijtihad, kita harus memahami bahwa selain ijtihad yang kita pilih itu ada ijtihad lain yang berbeda yang mungkin dipilih oleh orang lain. Karena itu harus ada kesadaran toleransi (tasamuh) terhadap orang lain yang mungkin mengambil pilihan hasil ijtihad yang berbeda dengan kita. Para ulama mujtahidin sendiri telah mencontohkan sikap-sikap toleransi ini, misalnya seperti yang termaktub dalam kaidah-kaidah ushul mereka : al ijtihaadu laa yunqadlu bil ijtihaad (sebuah ijtihad tdak dibatalkan oleh ijtihad yang lain, saling menghargai) atau dalam kaidah ushul yang lain laa inkaara fii almasaail al ijtihaadiyyah (Perbedaan dalam masalah ijtihaad tidak boleh dianggap sebagai sebuah kemunkaran)
- Jika kita ingin mendiskusikan perbedaan itu secara mendalam, maka lakukanlah dengan semangat ukhuwwah islamiyah yang baik, bukan dengan semangat menyalahkan orang lain dan merasa benar sendiri.
Dengan cara dan sikap seperti di atas, diharapkan perbedaan pendapat di antara para ulama akan menyuburkan budaya ilmiah dengan dilakukannya kajian-kajian yang mendalam di kalangan ummat islam, dengan dilandasi sikap toleransi yang kuat sebagaimana hal tersebut telah berjalan di kalangan para sahabat dan para ulama pendahulu kita.
Wallahu a’lam