Makna Sunnah Nabi
Yang dimaksud dengan Sunnah Nabi adalah petunjuk dan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah ?. Di dalamnya mencakup perkara-perkara yang hukumnya wajib maupun sunnah, yang berkaitan dengan akidah maupun ibadah dan yang berkaitan dengan muamalah maupun akhlak.
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi dan para khalifahnya baik keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28)
Sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi:
“Wajib atas kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin…”(Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549]
Perintah Memuliakan Sunnah
Allah berfirman:
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7)
“Barangsiapa yang mentaati Rasul berarti ia mentaati Allah.” (An Nisa’: 80)
Maksudnya, setiap orang yang taat kepada Rasul dalam perintah dan larangan berarti ia taat kepada Allah karena Nabi tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah dari Allah. Ini berarti pula terlindunginya Nabi dari kesalahan karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepadanya secara mutlak. Kalau seandainya beliau tidak ma’shum (terjaga dari salah) pada apa yang beliau sampaikan dari Allah, tentu Allah tidak akan memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir Al Karimirrahman, 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36)
Ibnu Katsir mengatakan: “Ayat ini umum pada seluruh perkara yaitu jika Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara maka tidak boleh bagi seorangpun untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide atau pendapat bagi siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498)
Ketiga ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada Allah. Hal itu karena Allah jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas Al Qur’an sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Selanjutnya kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah, di antaranya:
Dari Al Irbadh bin Sariyah ia berkata: “Rasulullah memberikan sebuah nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar dan matapun menderaikan air mata karenanya, maka kami katakan:’ Wahai Rasullullah seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549)
Demikian Nabi mewasiatkan kepada para sahabat beberapa wasiat penting di antaranya perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan Sunnah para Khulafa Ar Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa sahabat saja Rasulullah telah berwasiat demikian, lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di mana kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsipil.
Coba kita amati kisah ini. Beberapa sahabat datang dengan maksud baik, lalu mereka berazam (berkeinginan kuat) untuk meninggalkan beberapa kenikmatan dengan tujuan memperbanyak ibadah sehingga bisa mendekati amalan Nabi. Namun pada niatan itu mengakibatkan ditinggalkannya beberapa Sunnah, petunjuk dan jalan Nabi yaitu menikah, memberikan hak jasmani dengan tidak puasa setiap hari dan tidak bangun sepanjang malam walaupun untuk ibadah.
Maka Nabi menganggap hal itu tidak baik sehingga mengatakan: “Barangsiapa yang benci terhadap Sunnahku maka bukan dari golonganku.”
Sekedar niat baik saja tidak cukup bila tanpa disertai cara yang baik pula. Kalau keadaan mereka saja seperti ini lalu bagaimana dengan yang sengaja meninggalkan Sunnah Nabi dengan niat jelek? Lalu bagaimana lagi yang menghina Sunnah Nabi atau bahkan mengingkarinya?!
Demikian ayat dan hadits mendudukkan Sunnah Nabi yaitu pada tinggkat yang sangat tinggi. Oleh karenanya kita dapati para sahabat Nabi benar-benar menghargai dan menjadikannya sebagai panutan hidup bahkan sangat takut jikalau mereka menyelisihi Sunnah sehingga menyebabkan sesatnya mereka dari jalan yang lurus.
Seorang tabi’in bernama Abu Qilabah mengatakan: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia sesat.”(Tabaqat Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25)
Demikian pula suatu saat Imam Syafi’i ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan: “Wahai Imam Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).
Dalam kesempatan lain beliau ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani memakainya-red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, 6)
Demikian tinggi nilai Sunnah Nabi dalam dada mereka sehingga rasanya sangat mustahil mereka meninggalkannya. Bahkan tidak terbayang ada seorang muslim yang berani meninggalkan Sunnah Nabi yang telah diketahui.