Menimbang Kematangan Bersekolah

SDIT Salman Al Farisi 2

 

Tahun ajaran baru memang masih jauh.Tetapi beberapa sekolah telah membuka pendaftaran siswa baru. Mungkin dengan pendaftaan jauh-jauh hari jumlah siswa akan lebih terpenuhi. Terlepas dari waktu pendaftaran yang terbilang lebih awal yang perlu diperhatikan orang tua dan sekolah adalah alat ukur penerimaan.

Beberapa sekolah terutama sekolah dasar dengan ketat mensyaratkan kecukupan usia sebagai batasan penerimaan. Namun beberapa sekolah lainnya cukup fleksibel mengenai usia ini. Memang salah satu ciri kematangan bisa dilihat dari usia anak. Akan tetapi, usia saja bukan ukuran kematangan anak siap bersekolah.

Untuk itu sekolah tertentu meminta bantuan psikolog memeriksa kesiapan calon siswanya. Pendekatan ini bisa dilakukan oleh sekolah-sekolah yang mampu membiayai proses penerimaan menggunakan jasa psikolog. Bagaimana dengan sekolah yang tidak memiliki kemampuan untuk itu? Sebenarnya guru atau sekolah bisa melakukan observasi sederhana dengan menggunakan perangkat kesesuaian tumbuh kembang. Dari tiga aspek tumbuh kembang yang biasa digunakan orang tua atau guru yakni, fisik-motorik, kognitif dan sosial-emosi.

Dari ketiga aspek perkembangan itu apakah sesuai dengan usianya? Misalkan saja dari fisik-motorik; apakah mampu menggunakan sendok atau garpu, jika mengacu pada usia di atas lima tahun atau enam tahun. Tentu sudah sangat terampil memakainya. Guru atau orang tua bisa menggunakan beragam simulasi untuk mengetahui kekuatan motorik kasar dan halus. Dua hal ini sangat dibutuhkan anak ketika bersekolah. Menulis, melakukan kegiatan belajar lainnya yang membutuhkan akurasi dan kekuatan motorik kasar dan halus.

Keterampilan mengingat benda-benda yang dipergunakan serta fungsinya membantu anak-anak mengenali aneka perkakas dan tahu penggunaannya. Menghitung dengan jumlah tertentu, mengetahui dan menyebutkan warna dengan tepat juga dapat digunakan sebagai parameter perkembangan aspek kognitif anak. Apalagi berbicara dengan lima atau lebih kata dalam satu kalimat terlihat gampang bagi orang dewasa namun bagi anak-anak, ini menandakan pekerjaan kemajuan berpikirnya.

Apakah mereka bersosialisasi, mengajukan pertanyaan dan siap bekerja dalam kelompok? Bisa mengikuti aturan dan mengerti instruksi guru? Lakukan berbagai simulasi agar terlihat nyata interaksinya. Pergi ke tetangga sendiri; mengajukan keinginan; mengetahui bagaimana cara memenuhi kebutuhannya; merupakan aspek perkembangan sosial emosi yang penting bagi anak.

Ketiga aspek perkembangan tadi saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Bisa jadi ada aspek-aspek tertentu yang menonjol, namun secara keseluruhan ketiga aspek ini tidak saling menghilangkan. Ada anak-anak dengan pertumbuhan kognitif yang cepat sehingga memiliki kemampuan diatas usianya, akan tetapi jika aspek yang lain kurang mendukung maka pada tahapan berikutnya bisa jadi aspek yang cepat itu akan banyak mengalami hambatan.

Idealnya, aspek perkembangan bisa hadir sesuai dengan tahapan usianya. Dalam banyak kasus, tidak serta merta semua aspek perkembangan tampil lengkap. Ada saja yang tidak muncul, bagi guru yang perlu diperhatikan adalah apa yang telah anak-anak bisa lakukan sendiri tanpa bantuan guru atau orang lain.

Bagaimana dengan anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan? Guru dan orang tua perlu mencari kesepakatan untuk membantu anak-anak mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan. Ambil contoh, anak belum bisa mandiri ketika buang hajat. Padahal usianya menjelang enam tahun. Dan sesuai tahapan usianya semestinya mampu menangani kegiatan buang air besar dan kecil sendiri. Guru dan orang tua bisa saling bersepakat membantu anak menjalankan “toilet training” secara kompak. Baik di rumah maupun di sekolah. Intinya ketertinggalan aspek perkembangan bukan bahan untuk diterima atau tidaknya anak di sekolah namun menjadi pekerjaan rumah antara orang tua dan guru.

Kerap guru ingin mendapati calon siswa yang “bersih” terbebas dari segala masalah perkembangan, termasuk sudah bisa membaca dan menulis, sehingga dapat mengajar dengan lancar. Sebaliknya orang tua berharap semua keterlambatan perkembangan diselesaikan oleh guru di sekolah; seolah “cuci tangan” dari kerepotan anak. Akibatnya orang tua mendesak sekolah sebelumnya untuk memenuhi kriteria penerimaan sekolah berikutnya.

Satu catatan kecil, sekolah yang menerapkan syarat penerimaan siswa dengan menggunakan tes baca, tulis dan berhitung keliru memandang aspek perkembangan anak. Bahkan pemerintah sendiri telah melarang praktik ini. Pada kenyataannya taman kanak-kanak tetap melakukan pengajaran membaca-menulis-berhitung karena tuntutan orang tua agar bisa diterima di sekolah selanjutnya. Orang tua takut kalau anaknya belum bisa baca-tulis-hitung dengan lancar tidak diterima di sekolah dasar.

Sekolah dan orang tua agaknya perlu bijak dalam menyikapi penerimaan siswa baru yang berlangsung jauh hari dari tahun ajaran baru. Tanpa pemahaman yang lengkap tentang aspek perkembangan anak, hanya akan menimbulkan kecemasan baru. Khawatir jangan-jangan anak tidak diterima di sekolah favorit karena terlambat dalam aspek perkembangannya. Akibatnya anak-anak didesak untuk memenuhi ambisi sekolah dan orang tua. Jika ini terjadi, anak-anak sejak awal sekolah telah menjadi korban.

* Eka Wardhana, guru PKn dan IPS, penggerak di Komunitas Guru Belajar Bogor, pekerja literasi di KAGUM.